Film Kingdom of Heaven karya Sir Ridley Scott merekam kecerdasan nurani panglima tertinggi Islam ini. Barat pun menghargainya.
Di tenda
besar berwarna putih itu, di tengah Perang Salib yang menghabiskan
banyak korban, waktu, dan biaya itu, terdengar dialog bernas antara
Saladin dan tangan kanannya.
“Kita harus serang mereka sekarang,” usul sang tangan kanan Saladin.
“Tidak, kita buat perencanaan yang matang dulu,” sanggah Saladin.
“Kita akan menang, karena ini sudah kehendak Allah,” teriaknya.
“Kita akan menang karena perencanaan yang matang,” ujar Saladin, sang pemimpin tertinggi pasukan Muslim. “…dan tentu saja karena kehendak Allah,” segera sang pemimpin itu menambahkan.
“Tidak, kita buat perencanaan yang matang dulu,” sanggah Saladin.
“Kita akan menang, karena ini sudah kehendak Allah,” teriaknya.
“Kita akan menang karena perencanaan yang matang,” ujar Saladin, sang pemimpin tertinggi pasukan Muslim. “…dan tentu saja karena kehendak Allah,” segera sang pemimpin itu menambahkan.
Diskusi itu
ditutup dengan kalimat Saladin: ”Di setiap pertempuran, aku selalu
menang, tentu saja dengan kehendak Allah, karena matangnya perencanaan
perang,” tegasnya.
Dialog di
atas mengandung banyak hikmah, betapa Saladin sangat menghargai
perencanaan, di samping tanggap terhadap anak buahnya. Di dalamnya juga
terdapat percakapan filosofis tentang takdir dan peranan usaha manusia
(ikhtiar). Dialog itu terekam lewat film Kingdom of Heaven garapan Sir
Ridley Scott yang pernah meraih Piala Oscar lewat film Gladiator.
Shalahuddin
di film garapan Barat itu diperlihatkan sebagai sosok yang agung dan
spiritual. Tengok saja adegan penghujung saat dirinya bernegosiasi
dengan Balian dari Ibelin, panglima dari kaum Nashrani yang ketakutan
dengan kemenangan Islam di Yerusalam karena akan membalas membantai kaum
Nasrani, sebagaimana mereka memperlakukan Muslim seratus tahun
sebelumnya. Saladin hanya tersenyum dan menjawab: ’’Aku Saladin, bukan
mereka. Pergilah ke negeri-negeri Kristen, bawa pasukan dan rakyatmu
yang memang ingin pergi. Tak ada pembunuhan,’’ katanya.
Shalahuddin
Yusuf ibn Ayyub memang dikenal dengan toleransi yang tinggi dan penuh
rasa peri-kemanusiaan. Dalam setiap pertempuran, pesannya selalu sama:
“minimalkan pertumpahan darah, jangan melukai wanita dan anak-anak”. Dia
disegani lawan-lawannya, sehingga dalam Perang Salib III, ada istilah
’Saladin Tithe’ (“Zakat” melawan Saladin). Bersama dengan Raja Baldwin
IV, dia menginginkan sebuah kota Yerusalam yang damai bagi ketiga agama
besar, sebuah Kingdom of Conscience, Kingdom of Heaven (kerajaan nurani,
kerajaan surga).
Sebenarnya,
bisa saja keturunan Kurdis (non-Arab) ini menyerang Yerusalem, karena
“..200 ribu pasukannya sudah siap tempur…” jelas Tiberias kepada Raja
Baldwin. Tapi sang panglima itu tidak melakukannya, karena sudah
berkomitmen untuk tidak menyerang Yerusalem asalkan umat Muslim tidak
diganggu. Tapi, seperti terlihat dalam film itu, perjanjian dilanggar
oleh raja baru Guy de Lusignan yang memerintahkan Raynald of Chatillon
membunuh sekelompok kafilah Muslim yang sedang berdagang dan akan
berhaji di Laut Merah. juga saudari Shalahuddin. Dan perang pun pecah.
Pada Juli 1187, Saladin menyerang Kerajaan yerusalem dan terlibat dalam
pertempuran Hattin dan berhasil mengeksekusi Raynald dan rajanya, Guy
of Lusignan. Dia kembali ke Jerusalem 2 Oktober 1187, 88 tahun setelah
kaum Salib berkuasa.
“Persahabatan”nya
dengan musuh terbesarnya, Raja Richard I dari Inggris —Raja Inggris
yang mengobarkan Perang Salib III yang dijuluki The Lion Heart— juga
legendaris. Kepada Richard —satu-satunya raja yang pernah memukul mundur
pasukan Muslim— Shalahuddin mengirimkan tabib terbaiknya —dan saat itu
memang dunia Islam memimpin dunia iptek termasuk kedokteran. Saat
Richard kehilangan kuda tunggangannya, ia memberikan dua ekor
penggantinya. Bahkan, dalam satu pertempuran, saat berhadap-hadapan
dengan Richard dari Inggris pada Perang Arsuf tahun 1191, di luar
perkiraan kedua pasukan, Saladin dan Richard saling berjabat tangan dan
menghormat satu sama lain.
Di medan
itu, keduanya sepakat berdamai. Di tahun 1192 keduanya untuk membagi
wilayah pesisir untuk Kaum Kristen dan Jerusalem untuk Kaum Muslim.
Perjanjian Ramla itu menyatakan bahwa Yerusalem tetap dikuasai Muslim
dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Bahkan adik Richard dinikahkan
dengan saudara Saladin.
Shalahuddin
pula yang menghidupkan semangat jihad merebut kota Yerusalam dengan
inovasinya yang unik. Dia mengadakan lomba menulis riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW dalam rangka memperingati maulud nabi. Dan lahirlah syair
Barzanzi yang masih hidup hingga saat ini.
Budi baiknya
dikenal tidak hanya di kalangan Muslim, tetapi juga lawan-lawannya.
Tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat
mereka haus dan lapar. Pernah, saat berperang, Shalahuddin menangkap
pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang
tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya
Shalahuddin membebaskan mereka tanpa syarat.
Kelahiran
Tikrit (Irak) pada 532 Hijriah (1138 Masehi) di di kota Tikrit (140km
barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris ini begitu cerdas nurani
dan emosinya. Mungkin karena dia menghayati ilmu-ilmu yang didapatnya
dari guru-gurunya —seperti ayahnya Najamuddin al-Ayyubi, Nuruddin Zangi
dan pamannya Asaddin Shirkuh yang pejabat Dinasti Seljuk dan dekat
dengan raja Suriah, Nuruddin Mahmud. —di antaranya menguasai ilmu
kalam, fikih, ilmu-ilmu al-Qur’an, dan juga hadits, disamping
kemiliteran. Bahkan, ia memberikan catatan kaki (syarah) dan berbagai
macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Berbeda
dengan sultan kebanyakan, dia tidak membuat istana megah untuk dirinya.
Tetapi, justru masjid, rumah sakit, dan universitas yang dibangunnya,
untuk publik, di Kairo, Mesir.
Setahun
setelah Perjanjian Ramla, sepulang Richard ke Inggris, tepatnya 4 Maret
1193, Shalahuddin meninggal di Damaskus tidak lama setelah jatuh sakit.
Ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk
biaya pemakamannya, Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya itu ke
Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang sebanyak satu dinar
dan 36 dirham miliknya. Rupanya hartanya lebih banyak mengalir kepada
golongan fakir miskin.
Saladin, begitu lidah Barat menyebutnya, sudah wafat. Tapi perilaku dan kecerdasan nuraninya akan terus dikenang, bahkan oleh Barat. Kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott. ”Di Eropa” tulis Philip K Hitti, ”dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.”
Kini makamnya menjadi salah satu tempat tujuan wisata utama di Suriah. (Ekky Imanjaya)
Sumber : www.esq-news.com
0 komentar:
Post a Comment