ads

Memanggil calon pengganti


Kepemimpinan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. atas ummat Islam benar-benar memberikan ciri khusus kepada pertumbuhan Islam. Sumbangan yg diberikan bagi kemantapan hidup ke­negaraan dan kemasyarakatan ummat sungguh tidak kecil.

Umar Ibnul Khattab r.a. wafat setelah menderita sakit parah akibat luka-luka tikaman senjata tajam yg dilakukan secara gelap oleh seorang majusi bernama Abu Lu’lu-ah. Dalam keadaan kritis di atas pembaringan pemimpin ummat Islam ini masih sem­pat meletakkan dasar prosedur bagi pemilihan Khalifah pengganti­nya. Rasa tanggung jawabnya yg besar atas kesinambungan ke­pemimpinan ummat Islam masih tetap merisaukan hatinya walaupun maut sudah berada di ambang kehidupannya.

Dalam saat yg gawat itulah ia meminta pendapat para pe­nasehatnya yg dalam catatan sejarah terkenal dgn sebutan “Ahlu Syuro” tentang siapa yg layak menduduki atau meme­gang pimpinan tertinggi ummat Islam.
Umar Ibnul Khattab r.a. memang terkenal sebagai tokoh besar yg memiliki jiwa kerakyatan. Sehingga ketika di antara penase­hatnya ada yg mengusulkan supaya Abdullah bin Umar pu­tera sulungnya ditetapkan sebagai Khalifah pengganti dgn cepat Umar r.a menolak. Ia mengatakan: “Tak seorang pun dari dua orang anak lelakiku yg bakal meneruskan tugas itu. Cukuplah sudah apa yg sudah dibebankan kepadaku. Cukup Umar saja yg menanggung resiko. Tidak. Aku tidak sanggup lagi memikul tugas itu baik hidup ataupun mati!” Demikian kata Umar r.a. dgn suara berpacu mengejar tarikan nafas yg berat.

Sehabis mengucapkan kata-kata seperti di atas Umar r.a. lalu mengungkapkan bahwa sebelum wafat Rasul Allah s.a.w. telah merestui 6 orang sahabat dari kalangan Qureiys. Yaitu Ali bin Abi Thalib ‘Utsman bin Affan Thalhah bin ‘Ubaidillah Zubair bin Al ‘Awwam Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf. “Aku berpendapat” kata Umar r.a. lbh jauh “sebaiknya kuse­rahkan kepada mereka sendiri supaya berunding siapa di antara mereka yg akan dipilih.”

Kemudian seperti berkata kepada diri sendiri ia berucap: “Jika aku menunjuk siapa orangnya yg akan menggantikan aku hal seperti itu pernah dilakukan oleh orang yg lbh baik dari aku yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Kalau aku tidak menunjuk siapa pun hal itu pun pernah dilakukan oleh orang yg lbh afdhal daripada diriku yakni Nabi Muhammad s.a.w.”
Tanpa menunggu tanggapan orang yg ada disekitarnya Kha­lifah Umar r.a. kemudian memerintahkan supaya ke-enam orang tersebut di atas segera dipanggil.

Kondisi fisik Khalifah Umar r.a. yg terbaring tak berdaya itu tampak bertambah gawat pada saat keenam orang yg di­panggil itu tiba. Ketika ia melihat ke-enam orang itu sudah penuh harap menantikan apa yg bakal diamanatkan dgn sisa-sisa tenaganya Khalifah Umar r.a. berusaha memperlihatkan kete­nangan. Tiba-tiba ia melontarkan suatu pertanyaan yg sukar dijawab oleh enam orang sahabatnya. “Apakah kalian ingin meng­gantikan aku setelah aku meninggal?”

Tentu saja pertanyaan yg dilontarkan secara tiba-tiba dan sukar dijawab itu sangat mengejutkan semua yg hadir. Mula-mu­la mereka diam tertegun. Dan ketika Khalifah Umar r.a. menatap wajah mereka satu persatu masing-masing menunduk tercekam berbagai perasaan. Di satu fihak tentunya mereka itu sangat se­dih melihat pemimpin mereka dalam kondisi fisik yg begitu me­rosot. Tetapi di fihak lain mereka bingung tidak tahu kemana arah pertanyaan yg dilontarkan oleh seorang yg arif dan bijaksana itu. Karena tak ada yg menjawab Khalifah Umar r.a. mengu­langi lagi pertanyaannya.
Setelah itu barulah Zubair bin Al-’Awwam menanggapi. Ia menjawab: “Anda telah menduduki jabatan itu dan telah melaksa­nakan kewajiban dgn baik. Dalam qabilah Qureiys sebenarnya kami ini menempati kedudukan yg tidak lbh rendah diban­ding dgn anda. Sedangkan dari segi keislaman dan hubungan kekerabatan dgn Rasul Allah s.a.w. kami pun tidak berada di bawah anda. Lalu apa yg menghalangi kami utk memikul tugas itu?”

Tampaknya kata-kata yg ketus itu dilontarkan Zubair kare­na menyadari bahwa tokoh yg berbaring di hadapannya itu su­dah dalam keadaan sangat gawat. Hal itu dapat kita ketahui dari komentar sejarah yg dikemukakan oleh seorang penulis terkenal Syeikh Abu Utsman Al Jahidz. Ia mengatakan: “Jika Zubair tahu bahwa Khalifah Umar r.a. akan segera wafat di depan matanya pasti ia tidak akan melontarkan kata-kata seperti itu dan bahkan tidak akan berani mengucapkan sepatah kata pun.”

Kata-kata Zubair bin Al ‘Awwam itu tidak langsung ditang­gapi oleh Khalifah Umar r.a. Seakan-akan kata-kata itu tak pernah didengarnya. Dengan tersendat-sendat Khalifah Umar r.a. melan­jutkan perkataannya: “Bisakah kuajukan kepada kalian peni­laianku tentang diri kalian?”
Kembali Zubair menukas dgn nada sinis: “Katakan saja. Tokh kalau kami minta supaya kami dibiarkan anda akan tetap tidak membiarkan kami!”

Penilaian

Kata-kata Zubair ini tampaknya sangat menyakitkan telinga Khalifah Umar r.a. yg sabar itu. Sambil memandang tajam ke a­rah Zubair Umar r.a. berkata: “Tentang dirimu Zubair… kau itu adl orang yg lancang mulut kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yg menyenangkan dirimu sendiri dan engkau membenci apa saja yg tidak kau­sukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia tetapi pada ketika yg lain engkau adl syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu pada suatu ketika eng­kau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum segan­tang.”

Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar seolah­olah mengambil nafas utk mengumpulkan kekuatan dan me­ngendalikan emosinya. Kemudian ia meneruskan: “Tahukah engkau jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu siapa yg akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?”

Tanpa menunggu jawaban Zubair Khalifah Umar r.a. me­noleh kearah Thalhah bin Ubaidillah yg segera menundukkan kepala setelah melihat sorot mata pemimpin yg berwibawa itu. Bukan rahasia lagi di kalangan kaum muslimin pada masa itu bah­wa sudah beberapa waktu lamanya Khalifah Umar r.a. memen­dam rasa jengkel terhadap tokoh yg satu ini. Peristiwanya ber­mula pada waktu Khalifah Abu Bakar r.a. masih hidup. Ketika itu Thalhah mengucapkan suatu kata kepada Abu Bakar r.a yg sangat tidak mengenakkan perasaan Umar Ibnul Khattab r.a

Setelah memandang Thalhah sejenak Khalifah Umar r.a. ber­tanya: “Sebaiknya aku bicara atau diam saja?”
“Bicaralah!” sahut Thalhah dgn nada acuh tak acuh. “Tokh anda tidak akan berkata baik mengenai diriku!”
“Aku mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud” kata Khalifah Umar r.a. kepada Thalhah. “Dan aku juga mengenal kecongkakan yg pernah muncul pada dirimu. Rasul Allah wafat dalam keadaan beliau tidak senang kepadamu. Itu akibat kata-kata yg kauucapkan ketika ayat Al-Hijab turun.”

Menurut catatan yg dibuat oleh Syeikh Abu Utsman Al Jahidz perkataan Thalhah yg dimaksud ialah ucapan kepada salah seorang sahabat. Kata-kata Thalhah itu akhirnya sampai juga ke telinga Rasul Allah s.a.w.: “Apa arti larangan itu baginya sekarang ini? Dia bakal mati. Lalu kita bakal menikahi permpuan-perempuan itu!”

Habis berbicara tentang pribadi Thalhah Khalifah Umar r.a. melihat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Kepadanya Umar r.a. berkata: “Engkau seorang yg mempunyai banyak kuda perang. Dengan kuda-kuda itu engkau telah berjuang dan berperang. Banyak sekali senjata yg kau miliki busur dan anak panahnya. Tetapi qabilah Zuhrah kurang tepat utk memangku jabatan Khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin.”

Tibalah sekarang giliran Khalifah Umar r.a. menilai pribadi Abdurrahman bin ‘Auf yg rupanya sudah siap mendengarkan penilaiannya. “Jika separoh kaum muslimin imannya ditimbang dgn imanmu” kata Khalifah Umar r.a. “maka imanmulah yg lbh berat. Tetapi kekhalifahan tidak tepat kalau dipegang oleh seorang yg lemah seperti engkau. Qabilah Zuhrah kurang kena utk urusan itu.” Abdurrahman tidak sepatah kata pun menanggapi penilaian Khalifah Umar r.a. atas dirinya.

Ia membiarkan Khalifah berbicara lbh lanjut mengenai diri Iman Ali r.a. “Ya Allah alangkah tepat dan baiknya kalau anda tidak suka bergurau!” kata Khalifah Umar r.a. dgn nada suara yg agak meninggi. Kemudian de­ngan suara merendah dikatakan: “Seandainya anda nanti yg akan memimpin ummat anda pasti akan membawa mereka me­nuju kebenaran yg terang benderang.”

Imam Ali r.a. tampak terjengah dan tersipu-sipu mendengar ucapan orang yg sangat dikaguminya. Juga ia tidak membe­rikan tanggapan terhadap penilaian yg positif atas dirinya. Kha­lifah Umar r.a. akhirnya dgn serius menoleh kearah Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat berkurang. Tetapi ia memaksakan diri utk menilai orang keenam yg ada di hadapannya itu. “Aku merasa seakan-­akan orang Qureiys telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda” kata Khalifah dgn suara lembut “karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda.”

Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu se­olah-olah sedang menahan perasaan getir yg menyelinap ke dalam kalbu. “Tetapi aku melihat nantinya anda akan meng­angkat orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu’aith di atas orang­-orang lain. Kepada mereka anda akan menghamburkan harta ghanimah yg tidak sedikit.” Suara Khalifah meninggi pula: “Akhirnya akan ada segerombolan ’serigala’ Arab datang meng­hampiri anda lalu mereka akan membantai anda di atas pem­baringan.”

Dengan nada peringatan yg sungguh-sungguh Khalifah Umar r.a. mengakhiri kata-katanya: “Demi Allah jika anda sampai melakukan apa yg kubayangkan itu gerombolan ’sri­gala’ itu pasti akan berbuat seperti yg kukatakan. Dan kalau yg demikian itu benar-benar terjadi ingatlah kepada kata-kata­ku ini! Semua itu akan terjadi”

Cara Pemilihan
Berbicara tentag wasyiat Khalifah Umar r.a. menjelang wafat nya Syeikh Abu Utsman Al Jahidz juga mengungkapkan ke­terangan Mu’ammar bin Sulaiman At Taimiy yg diperol~h dari Ibnu Abbas. Yang tersebut belakangan ini diketahui pernah mendengar apa yg pernah dikatakan Umar Ibnul Khattab r.a. kepada para Ahlu Syuro menjelang wafatnya: “Jika kalian saling membantu saling percaya dan saling menasehati maka kuper­cayakan kepemimpinan ummat kepada kalian bahkan sampai kepada anak cucu kalian. Tetapi kalau kalian saling dengki saling membenci saling menyalahkan dan saling bertentangan kepe­mimpinan itu akhirnya akan jauth ke tangan Muawiyah bin Abu Sufyan!”.

Perlu diketahui bahwa ketika Khalifah Umar r.a. masih hidup Muawiyah bin Abu Sufyan sudah beberapa tahun lamanya menjabat sebagai kepala daerah Syam. Ia diangkat sebagai kepala daerah oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Sejarah kemudian mencatat bahwa yg diperkirakan oleh Khalifah Umax r.a. menjelang akhir hayatnya menjadi kenyataan.
Klimaks dari penyampaian wasyiat oleh Khalifah Umar r.a. ialah memerintahkan supaya Abu Thalhah A1 Anshariy datang menghadap. Waktu orang yg dipanggil itu sudah berada di­dekat pembaringannya berkatalah Khalifah Umar r.a. dgn tegas dan jelas seolah-olah sedang melepaskan sisa tenaganya yg terakhir:

“Abu Thalhah camkan baik-baik! Kalau kalian sudah selesai memakamkan aku panggillah 50 orang Anshar. Jangan lupa supaya masing-masing membawa pedang. Lalu desaklah mereka supaya segera menyelesaikan urusan mereka . Kumpulkan mereka itu dalam sebuah rumah. Engkau bersama-sama temani temanmu berjaga jaga di pintu. Biar­kan mereka bermusyawarah utk memilih salah seorang di an­tara mereka.

“Jika yg Iima setuju dan ada satu yg menentang peng­gallah leher orang yg menentang itu! J’ika empat orang setuju dan ada dua yg menentang penggallah leher dua orang itu! Jika tiga orang setuju dan tiga orang lainnya menentang tunggu dan lihat dulu kepada tiga orang yg diantaranya termasuk Abdurrahman bin ‘Auf. Kalian harus mendukung kesepakatan tiga orang ini. Kalau yg tiga orang lainnya masih bersikeras menen­tangpenggal saja leher tiga orang yg bersikeras itu!.

“Jika sampai tiga hari enam orang itu belum juga mencapai kesepakatan utk menyelesaikan urusan mereka penggal saja leher enam orang itu semuanya. Biarlah kaum muslimin sendiri memilih siapa yg mereka sukai utk dijadikan pemimpin mereka !”.
Share on Google Plus

About MuRaNu

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: