MUSA IZZANARDI WIJANARKO
Bocah 14 Tahun Yang Diterima di ITB Tidak
Pernah Sekolah Formal
Bocah bernama Musa Izzanardi Wijanarko
menjadi sosok fenomenal dalam Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) 2017.
Bagaimana tidak, Izzan, sapaan akrabnya,
diterima masuk menjadi mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(MIPA) Institut Teknologi Bandung ( ITB) di usianya yang baru 14 tahun.
Anak kedua dari pasangan Yanti Herawati
(46) dan Mursid Wijanarko (46) ini ternyata tidak pernah bersekolah formal
seperti orang kebanyakan.
Ijazah paket C yang didapatkannya pada
tahun 2015 lalu menjadi modal untuk mengikuti SBMPTN 2017.
"Ijazah paket A (SD) diambil waktu dia
umur 8 tahun," ujar Yanti saat dihubungi Kompas.com melalui ponselnya,
Rabu (14/6/2017) .
Yanti memaparkan alasan anaknya tidak
pernah bersekolah resmi. Menurut dia, kejeniusan Izzan mulai terlihat ketika
usiannya masih 3 tahun. Buku-buku tentang tokoh-tokoh fisika dan matematika
menjadi bacaan wajibnya sehari-hari.
" Izzan pernah enggak naik dari TK A
ke TK B karena waktu di sekolah alam cuma main terus enggak mau belajar dan
tidak mampu mengikuti kegiatan di kelas. Akhirnya saya ajari sendiri di
rumah," tutur Yanti.
Di rumah, Yanti mengajari Izzan membaca.
Bahkan Izzan meminta ibunya untuk mengajarinya bermain catur hingga akhirnya
permainan asah otak tersebut menjadi aktivitas rutin ibu dan anak ini.
Menginjak usia 6 tahun, Izzan bertambah
cerdas. Bocah pengagum Newton ini pun kerap kali mempraktikkan hukum gravitasi
dalam kegiatan sehari-hari.
" Izzan anaknya enggak bisa diam,
tetapi kalau belajar matematika dia bisa tenang. Ternyata mengamati bagian dari
belajar yang dilakukannya. Dia senangnya nabrak anak lain sampai jatuh. Dia
juga sering nanya teori Newton tentang hukum benda-benda angkasa,"
sebutnya.
Secara intensif Izzan terus belajar sendiri
matematika di rumah dengan ibunya sebagai mentor. Satu tahun berjalan Izzn pun
mampu menyelesaikan soal-soal dan rumus matematika yang dipelajari anak-anak
SMA.
"Matematika kelas 1 SD sampai kelas 1
SMA ditempuh dalam waktu satu tahun karena dia cuma belajar matematika saja.
Tulisannya juga acak-acakan karenaa jarang nulis. Umur 7 tahun Izzan mulai
belajar fisika," tuturnya.
Ilmu fisika terus dipelajari secara tekun
oleh Izzan. Bahkan, di usianya yang masih 7 tahun dia mampu menyelesaikan
soal-soal fisika setingkat kelas 3 SMP. Salah satu teori fisika yang dipejari
oleh Izzanadalah teori fisika gasing.
Yanti mulai kewalahan menanggapi rasa ingin
tahu Izzan yang mulai membesar ketika usia putranya 8 tahun. Dia pun tidak
mampu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Izzan.
"Umur 8 tahun dia bisa menyelesaikan
matematikan kelas 3 SMA. Pertanyaannya juga sudah mulai tidak bisa saya
imbangi. Salah satu pertanyaannya adalah bagaimana menurunkan diferensial benda
ke dimensi N," ujarnya.
Selain itu, Izzan yang masih berusia 8
tahun juga pernah mempertanyakan tentang matematika sudut bola.
"Saya tanya teman saya yang tamatan
astronomi, kata dia itu dipelajari nanti pada tingkat 3 kuliah astronomi
tentang sudut 3 dimensi," ungkapnya.
Yanti pun akhirnya bolak balik
berkonsultasi dengan dosen-dosen matematika ITB seperti Agus Jodi dan Oki
Neswan. Kedua dosen tersebut juga tidak mampu memberikan banyak solusi.
Oki Neswan pun menyuruh agar Izzan
mengikuti SBMPTN agar bakatnya bisa diasah di ITB.
Dengan penuh kesabaran, Yanti pun
membimbing Izzan selama beberapa tahun agar bisa ikut ujian persamaan untuk
mengambil ijazah paket A hingga C.
Setelah berhasil mengambil ijazah paket C
pada tahun 2015 lalu, Izzansempat mengikuti SBMPTN pada tahun 2016. Sayang,
Izzan gagal dan baru sukses pada tahun ini.
"Ikut tahun ini persiapannya juga cuma
dua bulan," ucapnya.
Berita ini sudah tayang di kompas.com
dengan judul "Lulus SBMPTN Masuk ITB Umur 14 Tahun, Izzan Tak Pernah
Sekolah Formal"
Si Jenius DWI HARTANTO calon penerus Mr. Crack HABIBIE
Tak menyangka ketika suatu siang hari, saat dirinya lagi asyik
melakukan penelitian di laboratorium kampusnya di Belanda, ponselnya tiba-tiba berdering. Melihat
nomor di layar, dia tahu bahwa nomor itu berasal dari luar negeri Belanda.
’’Si penelepon hanya bilang,
Bapak ingin bertemu dengan Anda.
Saya sempat bingung, siapa Bapak yang penelepon maksud,’’ cerita Dwi ketika ditemui setelah pembukaan Visiting World Class Professor, forum pertemuan diaspora dari berbagai negara, di Jakarta, Senin (19/12).
Saya sempat bingung, siapa Bapak yang penelepon maksud,’’ cerita Dwi ketika ditemui setelah pembukaan Visiting World Class Professor, forum pertemuan diaspora dari berbagai negara, di Jakarta, Senin (19/12).
Sambil memendam rasa penasaran,
Dwi segera mencari tahu siapa ’’Bapak’’ yang ingin bertemu dirinya itu. Usut
punya usut, ternyata orang yang menelepon tersebut adalah petugas protokoler
mantan Presiden B.J. Habibie. Dan, yang dimaksud ’’Bapak’’ itu tak lain adalah
BJ. Habibie sendiri yang di dunia Internasional dikenal dengan sebutan
Mr.Crack.
Pria asal Jogjakarta tersebut
sempat berpikir ada apa gerangan tokoh sekaliber Pak Habibie ingin menemui
dirinya. Selang beberapa lama, pertemuan dua generasi antara Dwi Hartanto dan
Habibie pun terlaksana awal Desember lalu. Pertemuan nonformal dan santai itu
berlangsung di sebuah restoran di Den Haag, Belanda.
Tentu Dwi Hartanto, bukan orang
yang sembarangan bila Ilmuwan sekaliber Habibie saja sampai begitu
menggebu-gebu ingin menjumpainya di Belanda.Bagaimana tidak istimewa, saat ini
Indonesia yang sedang merancang bangun pesawat tempur generasi 4,5 dengan
negeri Korea yaitu KFX dan IFX, itu pun bila sukses sudah cukup mencengangkan
dunia karena lompatan teknologi yang di tempuh para insinyur Indonesia di mata
dunia.
Apalagi bila penemuan pesawat
tempur siluman generasi ke 6 yang sedang di kembangkan Dwi Hartanto di kembangkan
juga di Indonesia.Padahal teknologi pesawat tempur paling canggih sekarang baru
pada generasi ke 5 seperti yang dimiliki USA dan Rusia.Pesawat generasi ke 6
yang akan dikembangkan Dwi, akan mampu melesat dengan kecepatan tinggi di atas
atmospir yang miskin oksigen, yang sebagian cirinya pesawat generasi ke 6 tanpa
ekor di badannya dan bisa dikendalikan tanpa pilot yang dikendalikan dari
darat.
Belum lama ini Dwi Hartanto pun
mendapat anugerah dan kesempatan untuk mengukir prestasi dan mengharumkan Ibu Pertiwi
lagi dengan menapakkan kaki di podium tertinggi dalam ajang prestigious
kompetisi riset teknologi antar Space Agency (Lembaga Penerbangan dan
Antariksa) dari seluruh dunia di Cologne, Jerman.
Kompetisi prestigious antar space agency tersebut diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan perwakilan space agency masing-masing negara, antara lain; ESA (Eropa), NASA (Amerika), DLR (ESA/ Jerman), ESTEC (ESA/ Belanda), JAXA (Jepang), UKSA (Inggris), CSA (Kanada), KARI (Korea), AEB (Brazil), INTA (Spanyol), dan negara-negara maju lainnya.
Kompetisi prestigious antar space agency tersebut diikuti oleh ilmuwan-ilmuwan perwakilan space agency masing-masing negara, antara lain; ESA (Eropa), NASA (Amerika), DLR (ESA/ Jerman), ESTEC (ESA/ Belanda), JAXA (Jepang), UKSA (Inggris), CSA (Kanada), KARI (Korea), AEB (Brazil), INTA (Spanyol), dan negara-negara maju lainnya.
Kompetisi riset tersebut
tergolong prestigious karena selain merupakan “privacy-based space agency
research competition”, kompetisi tersebut juga menghadirkan topik-topik riset
dengan teknologi tinggi (pinnacle of technology category) dan tahapan seleksi
masuknya juga tidak mudah. Sebelum masuk ke tahap final di Cologne, Jerman,
para ilmuwan harus melewati tahap seleksi internal di masing-masing space
agency. Top 3 dari masing-masing space agency berhak mengikuti tahap final yang
dibagi dalam 3 kategori atau topik yang berbeda, yaitu: Spacecraft Technology,
Earth Observation dan Life Support Systems in Space. Dwi Hartanto menjuarai
bidang kategori riset Spacecraft Technology dengan judul riset “Lethal weapon
in the sky” atau “Senjata yang mematikan di angkasa”. Dari hasil riset
tersebut, beberapa teknologi utama sudah berhasil ia patent kan bersama timnya.
“Sesuai dengan judul dalam
risetnya, saya dan team mengembangkan pesawat tempur modern yang disebut
sebagai pesawat tempur generasi ke-6 (6th generation fighter jet). Berawal dari
keberhasilan saya dan team saat diminta untuk membantu mengembangkan pesawat
tempur EuroTyphoon di Airbus Space and Defence menjadi EuroTyphoon NG (Next
Generation/ yang sekarang dalam tahap testing tahap akhir) yang mampunyai
kemampuan tempur jauh lebih canggih dari generasi sebelumnya dari segi engine
performance, kecepatan, aerodinamik serta teknologi (avionik) tempurnya.
Keberhasilan tersebut membawa saya dan team untuk meneruskan perkembangan
teknologi pesawat tempur ke level berikutnya yang digadang bakal menjadi “era
pertempuran pesawat abad baru,” demikian penjelasan Dwi yang gelar bachelornya
ia dapatkan dari Tokyo Institute of Technology, Jepang.
Dengan berbekal penguasaan
tekonologi yang mendalam dan matang dalam bidang roket dan jet teknologi, Dwi
dan timnya berhasil mengembangkan engine pesawat tempur modern yang mereka
sebut dengan “hybrid air-breathing rocket engine”.
Teknologi baru tersebut
memungkinkan pesawat tempur generasi ke-6 yang sedang mereka kembangkan untuk
melesat di dalam jangkauan atmosfir bumi dan near-space (jangkaun di luar
atmosfir, yang tipikal jet tempur generasi sebelumnya tidak dapat terbang
karena keterbatasan oksigen). Teknologi ini sangat berbeda dengan teknologi
mesin jet lainnya seperti SABRE (Synergistic Air-Breathing Rocket Engine)
maupun tipikal Scramjet/ Ramjet konvensional yang masih bermasalah dalam
thrust-to-weight ratio serta pengendalian energy yang dihasilkan.
Hybrid air-breathing rocket
engine yang mereka kembangkan tersebut mampu beroperasi bergantian dari mode
penerbangan level atomosfir ke mode penerbangan near-space atau sebaliknya
dengan kecepatan hypersonic (Mach 7-8), yang tentu saja mengalahkan engine
performance dan kecepetan pesawat-pesawat tempur generasi ke-5 yang hanya
mengandalkan teknologi “afterburner” konvensional.
Ketika ditanya tentang pengalaman
yang membanggakan ini, Dwi pun menambahkan: “ada sesuatu yang menarik dari
pengalaman ini, yaitu sesaat selepas presentasi, bahkan sebelum saya sempat
kembali ke tempat duduk, ada beberapa orang sedang menunggu dan menghampiri
saya dengan raut muka sangat serius yang sempet membuat saya tercenung
bertanya-tanya dalam hati beberapa saat.
Ternyata beberapa orang tersebut
adalah perwakilan dari Lockheed Martin dan NASA/ JPL yang tertarik dengan
teknologi yang sedang saya dan team kembangkan dan menawarkan kerjasama
strategis untuk bersedia masuk dalam program transfer teknologi untuk membantu
mengembangkan project di tempat mereka. Permintaan organisasi kedirgantraan dan
perusahaan besar tersebut sedang didiskusikan di level internal ESA dan Airbus
Defence and Space karena saya juga berafiliasi dengan perusahaan tersebut, yang
notabene adalah saingan dari Lockheed Martin, perusahaan pesawat tempur dari
Amerika Serikat.”
Setelah berbincang-bincang
tentang teknologi terbaru, Habibie meminta Dwi bersedia membantu negara untuk
meningkatkan mutu pendidikan teknologi terbarukan. Dwi pun menyanggupi
permintaan pakar pesawat terbang tersebut. Karena itu, dia bersedia pulang
untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan stakeholder pendidikan tinggi di
Indonesia.
Dalam kesempatan tersebut, Dwi
juga curhat soal gencarnya pemerintah Belanda menawari dirinya paspor Negeri
Kincir Angin. Sejauh ini, doktor bidang aerospace engineering itu mampu menolak
dengan halus.
’’Pak Habibie bilang, kalau
pemerintah Belanda masih menawari lagi, apalagi sampai mengintimidasi saya
disuruh melapor ke beliau. biar beliau sendiri yang akan menghadapi pemerintah
Belanda,’’ kenang Dwi.
Habibie mewanti-wanti agar Dwi
tetap mempertahankan identitas kewarganegaraannya. Jangan sampai mau pindah
kewarganegaraan di Belanda. Perkara berkarya membantu perusahaan multi nasional
atau bahkan membantu pemerintah Belanda, itu sah-sah saja sebagai seorang
profesional.
’’Kamu jangan sampai mencabut
jati diri dan kewarganegaraan Indonesia-mu,’’ pesan Habibie.Apalagi bila
mengingat kejadian ketika IPTN gulung tikar Amerika dan Eropa serasa mendapat
durian runtuh ketika para insyinyur Indonesia pada diaspora kesana, dan beberapa
orang sekarang menjadi top management di Eropa dan USA.Betapa sakit hatinya pak
Habibie.
Wanti-wanti Habibie itu
menguatkan pesan yang disampaikan orang tua Dwi. Setiap pulang ke Jogja,
misalnya saat Lebaran, orang tuanya selalu berpesan supaya Dwi tidak lupa asal
muasalnya Indonesia.
Pria 28 tahun yang sebentar lagi
bergelar profesor itu menyatakan, gencarnya tawaran berpaspor Belanda itu
muncul karena riset yang dilakukan sangat sensitif. Riset-riset Dwi bersama
para guru besar dari Technische Universiteit (TU) Delft selama ini menggarap
bidang national security Kementerian Pertahanan Belanda, European Space Agency
(ESA), NASA, Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), serta Airbus Defence.
Salah satu riset sensitif yang
dia garap adalah teknologi roket untuk militer dan misi luar angkasa. Dwi juga
menggarap satelit untuk riset luar angkasa serta pertahanan dan keamanan
(hankam). Dia terlibat pula dalam penyempurnaan teknologi pesawat tempur
Eurofighter Typhoon generasi anyar milik Airbus Defence.
’’Riset bidang itu kan sensitif
sekali jika digarap orang dari negara lain,’’ kata ilmuwan muda jenius
tersebut.
Kasarannya, potensi untuk menjual
hasil riset ke pesaing usaha atau membocorkan pertahanan Belanda ke negara lain
sangat memungkinkan. Karena itulah, Dwi berkali-kali ditawari untuk pindah
kewarganegaraan Belanda.
Dari riset-riset yang dilakukan,
Dwi telah mengantongi tiga patent di bidang spacecraft technology. Sayang, dia
terikat kontrak untuk merahasiakan patent tersebut. Dia tidak bisa membeberkan
tiga patent itu karena terkait dengan program strategis.
Dia mengaku cukup dilematis saat
menolak tawaran pindah kewarganegaraan tersebut. Sebab, biaya kuliah S-2 dan
S-3 Dwi di TU Delft dibiayai pemerintah Belanda. Dia tidak ingin dicap sebagai
ilmuan yang tidak bisa membalas budi berterima kasih kepada pihak yang
membiayai kuliahnya.
Sarjana lulusan Tokyo Institute
of Technology itu menegaskan, dirinya tidak memiliki tip khusus saat belajar
sehingga mampu meraih gelar doktor dalam usia muda. Menurut dia, kunci utamanya
adalah harus memiliki interest atau ketertarikan pada bidang yang digeluti.
’’Butuh lebih dari passion,’’ ungkapnya.(Mungkin dalam batin kecilnya beliau
ingin mengatakan sumber daya orang Indonesia the best in the world)
Dia mencontohkan, ketika
menggarap roket pada 2015, dirinya hanya sempat tidur 2–3 jam. Waktunya habis
untuk melakukan riset-riset di laboratorium. Apalagi, risetnya memerlukan
perhatian khusus karena terkait dengan kemampuan high qualified. ’’Sama-sama
berbasis teknologi tingkat tinggi".
Bekal lain yang dimiliki Dwi
adalah kemampuan di bidang matematika dan fisika yang mumpuni. Saat duduk di
bangku sekolah, bungsu dua bersaudara itu juga hobi astronomi. Kemampuan
menguasai matematika dan fisika itulah yang mengantarkannya menjadi calon
profesor di bidang aerospace engineering dalam usia yang terbilang masih muda.
"Jayalah tanah airku tanah
tumpah darahku, jayalah bangsaku, jayalah bahasaku, jayalah negeriku
INDONESIA"
0 komentar:
Post a Comment