Pergantian waktu juga dibarengi dengan
pergantian musim, kini tibalah bumi di musim kemarau. Kemarau pertanda dimana
bumi berada di iklim yang cenderung panas, kering dan gersang. Hal tersebut
terjadi karena intensitas hujan yang sangat jarang terjadi dimusim kemarau ini.
Kemarau juga memberikan efek yang negative pada penduduk bumi, hal ini dapat
terlihat dari tanah yang cenderung kering & pecah-pecah, tumbuhan tampak
layu, titik-tik api meningkat pesat yang menyebabkan banyaknya kebakaran hutan,
dan manusia pun tidak terlepas dari efek negative musim kemarau hal ini begitu
jelas terlihat di siang hari ketika suhu bumi begitu panasnya banyak manusia
yang merasakan dehidrasi pada tubuhnya.
Selayaknya bumi yang sedang berada dimusim
kemarau, dakwah pun juga sedang merasakan kemarau. Musim kemarau di jalan
dakwah juga membuat para pelaku dakwahnya mengalami dehidrasi, yang menyebabkan
kinerja dan aktivitas dakwah yang dilakukan terasa bagai suatu event sesaat
bahkan ibadah yang dilakukan hanya sebatas ritual rutinitas. Para qiyadah dan
jundi dijalan ini yang seringkali dianalogikan dengan langit dan bumi sedang
mengharapkan tetesan air jernih dan menyegarkan agar dahaga kemarau yang
dirasakan oleh para pelaku dakwah segera hilang dari dirinya.
Wisma bumi yang mulai sesak dihuni oleh para
jundi dakwah mengharapkan naungan dari para qiyadahnya dengan memberikan
perhatian, pengarahan dan keteladanan yang diberikan oleh para qiyadahnya.
Namun karena jumlah yang tidak sebanding antara jumlah qiyadah & jundi maka
sudah menjadi hal yang tidak bisa dinafikan ada perhatian, pengarahan dan
keteladan tidak diberikan secara merata oleh para qiyadah. Karena kemarau
dijalan dakwah inilah titik - titik api juga meningkat seiring dengan jumlah
konflik yang terjadi di internal pelaku dakwah, yang apabila tidak segera
diatasi akan menyebabkan ‘kebakaran’ yang akan merembet ke seluruh palaku
dakwah yang lain. Oleh karena itu urgensi air pada jalan dakwah begitu penting
untuk diberikan bagi para jundi untuk meminimalisir konflik internal yang
terjadi dijalan dakwah ini. Dan para jundi juga seharusnya menyadari bahwasanya
kesanggupan untuk menyerap seluruh tetesan air yang tercurahkan dari langit
haruslah selalu sesuai dengan intensitas curah hujan yang diberikan oleh
langit, jangan sampai air yang diberikan langit malah menjadi bencana dibumi
seperti banjir karena kapasitas penyerapan air yang tidak sesuai dengan
intensitas air yang diturunkan oleh langit. Dengan demikian kesadaran untuk
terus memperbaiki diri dan kedekatan individu kepada Allah dijalan dakwah
haruslah diinsyafi oleh para jundi, jadi apabila sudah ada panggilan dakwah
atau amanah dakwah yang diberikan oleh para qiyadah para jundi dapat menunaikan
dan menyelesaikan amanah itu dengan baik.
Seribu satu harap kerap dialamatkan buat para qiyadah
dakwah. Mereka yang berharap adalah para jundi yang butuh perlindungan,
bantuan, dan rindu bimbingan. Rangkaian harap itu berujung pada satu titik:
agar mutu baik para pegiat dakwah khususnya para qiyadah tidak cuma berhenti
pada diri si pelaku. Tapi, bisa mengalir ke para jundi yang berada dibawah. Membasahi
cekungan harap para jundi yang kian mengering, dan menghidupkan benih-benih
hijau yang mulai menguning. Sayangnya, tidak semua mutu qiyadah dakwah selalu
seperti air yang mengalir dan terus mengalir menyegarkan kehidupan para jundi di
bawahnya. Karena ada sebagian para qiyadah yang justru nyaman bersemayam di
kerajan langitnya, seperti awan yang kian menjauh meninggalkan bumi. Seolah ada
yang ingin mereka ungkapkan: selamat tinggal dunia bawah; maaf, kami sedang
asyik bercengkrama bersama angin. Sesosok qiyadah yang merasa terusik dengan
ketidak seimbangan dijalan dakwah ini pun menceritakannya kepada gurunya.
“Guru,
bagaimana seharusnya aku sebagai qiyadah memposisikan diriku dijalan dakwah
ini?” tanyanya kepada sang guru.
"Anakku.
Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan," untaian kalimat singkat
meluncur tenang dari mulut guru.
"Maksud,
Guru?" ucapnya kemudian.
"Anakku.
Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari tempat yang
tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak jumlahnya; air
kian bersemangat untuk bergerak ke bawah. Ia selalu mencari celah untuk bisa
mengaliri dunia di bawahnya," jelas sang guru tenang.
"Lalu
dengan awan, Guru?" tanya si pemuda penasaran.
"Jangan
sekali-kali seperti awan, anakku. Perhatikanlah! Awan berasal dari tempat yang
rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin ringan, semakin ia
tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi, " terang sang guru
begitu bijak.
"Tapi
anakku, Ketinggian awan cuma jadi bahan permainan angin."
Dan
si pemuda pun tampak mengangguk pelan “Terima kasih guru atas ilmu yang engkau
berikan. Doakan selalu agar aku bisa menjadi pemimpin yang baik dijalan ini.
Dan aku sadar pada hakikatnya para pelaku dakwah baik qiyadah & jundi
sama-sama makhluk bumi yang merindukan kedatangan pelangi. Mereka takjub dengan
ciptaanNya itu, berupa keindahan pelangi yang akan terlihat setelah berpeluh
keringat dijalan dakwah ini dan semoga pelangi itu dapat menjadi jembatan
indah ke langit menuju jannahNya.”
0 komentar:
Post a Comment