Decoupling (decouplings jamak) Tindakan atau proses dimana sesuatu yang dipisahkan.
Istilah decoupling sebenarnya baru mulai mencuat dalam tahun-tahun belakangan ini, pada prinsipnya decoupling menggambarkan terjadinya satu pemisahan antara ekonomi beberapa negara yang dahulunya memiliki keterikatan yang kuat.
Decoupling tidak lepas dari pengertian negara maju dan negara berkembang, tidak lepas pula dari outsourcing strategy yang banyak diimplementasikan oleh korporasi global. Decoupling juga sangat erat dengan kekuatan ekonomi Amerika sebagai pasar ekspor terbaik bagi negara yang memiliki produk bagus dan kompetitif di pasar global. Terakhir, decoupling juga erat kaitannya dengan kemajuan teknologi komunikasi dan internet yang telah membuat transaksi pasar keuangan Amerika menjadi lahan menjanjikan bagi trader di seluruh penjuru dunia.
Di tahun 2007, banyak pihak mengatakan bahwa ekonomi Uni Eropa telah menjadi bagian yang tidak terikat dengan ekonomi Amerika, telah terjadi decoupling sehingga pengaruh kedua belahan regional terhadap pertumbuhan dan kondisi masing-masing belahan menjadi tidak penting lagi. Begitu juga, ada pendapat yang mengatakan bahwa Cina telah sedemikian perkasa sehingga proses decoupling dengan ekonomi Amerika telah terjadi secara alamiah. Namun sejarah kejatuhan ekonomi Amerika di awal 2008, telah mengatakan lain, minimal kondisi bursa di berbagai belahan dunia mengalami imbas negatif dengan merosotnya indeks di bursa2 Amerika.
Jadi? Apakah decoupling hanya bicara soal ekonomi riil dan tidak berlaku di dalam industri keuangan global? No sir... nope...
Tepatnya, klaim terjadinya decoupling yang lalu tidak akurat dan terbukti tidak valid di dalam situasi ekonomi Amerika mengalami turbulensi yang signifikan.
Decoupling atau recoupling atau coupling - menurut saya ini bukanlah istilah yang bagus untuk menggambarkan ekonomi global maupun ekonomi regional. Harus dipahami bahwa globalisasi sudah mengurat dan mengakar ke dalam sendi-sendi ekonomi di seluruh belahan dunia. Sehingga tidak perlu adanya strategy khusus untuk menciptakan decoupling, namun tidak perlu pula memaksakan recoupling melalui economic partnership agreement...
Demikian pula dengan ekonomi tanah air Indonesia, decoupling belum menjadi bagian penting dalam pembahasan situasi ekonomi, tapi disadari atau tidak imbas global punya pengaruh penting dalam pembentukan situasi ekonomi tanah air. Decoupling mungkin tidak penting buat mengukur kinerja ekonomi Indonesia, namun perlu diketahui bahwa istilah ini lahir untuk menyatakan bahwa ekonomi global bukan untuk dilawan dan dikalahkan namun untuk dijadikan teman pembawa berkah.
Pendapat lain tentang decoupling
Decoupling atau “keterlepasan” antara need (kebutuhan) dan want(keinginan) adalah fenomena yang bakal kian marak di tengah Indonesia yang kian makmur dengan makin banyaknya konsumen kelas menengah (“Consumer 3000”). Kenapa saya sebut “keterlepasan”? Karena jaman saya kecil dulu, orang menginginkan barang yang dibelinya karena ia butuh. Ia membeli beras di pasar karena ia butuh untuk dimakan biar kenyang, dan punya tenaga untuk bekerja di sawah. Sekarang, banyak orang menginginkan barang yang dibelinya bukan karena ia butuh. Jadi nggak nyambung antara keinginan dan kebutuhan.
Contoh paling hot adalah heboh ngantri Blackberry Bold di Pacific Place minggu lalu. Di luar “laskar Roxy” yang memang ngantri untuk cari untung, saya yakin para BB fans mengular untuk mendapatkan BB tergress bukan karena mereka butuh tapi karena ingin menjadi pemilik pertama BB Bold 9790 di dunia atau karena aji mumpung biar dapat diskon 50%.
Yang saya pikirkan dari insiden di Pacific Place itu adalah sebuah ironi. Kalau di kalangan orang miskin “survival” adalah untuk mendapatkan sesuap nasi dengan mengantri pembagian sembako; maka di kalangan BB fans “survival” itu adalah untuk menjadi pemilik BB pertama di dunia. Setali tiga uang, keduanya membawa korban pingsan. Luar biasa.
Own, Not Use
Seringkali kita membeli suatu barang hanya sekedar untuk punya, bukan untuk memakainya. Survei yang dilakukan New York Times menunjukkan, hanya satu dari tiga pengguna ponsel di Amerika memiliki aplikasi di ponsel mereka. Dan menariknya, hanya seperempatnya saja dari mereka yang menggunakan aplikasi-aplikasi tersebut. Seringkali kita tergoda oleh iklan mengenai smartphone tercanggih keluaran terbaru, tapi membeli bukan untuk menjajal dan menggunakan fitur-fitur canggih itu, tapi sekedar untuk memilikinya. Alasannya macam-macam, bisa untuk gengsi atau agar terlihat cool oleh orang lain.
Contohnya kita membeli iPad tanpa kita tahu manfaat luar biasa yang bisa kita dapat dari gadget cerdas ciptaan Steve Jobs itu. Kita sibuk membawanya dari mal ke mal tanpa tahu bahwa kita bisa mendapatkan ratusan ribu aplikasi hebat mulai dari ebook, musik, games, hingga beragam aplikasi jejaring sosial. Menggunakan aplikasi-aplikasi yang begitu banyak dan bermanfaat bukanlah persoalan penting. Yang terpenting adalah memiliki iPad, titik.
Seperti sudah diduga, peluncuran All New Avanza dan Xenia bakal disambut luar biasa oleh konsumen, setelah sekitar 7 tahun absen. Mobil “sejuta umat” ini dipajang mentereng di mal-mal; iklannya mengalir deras di TV; billboard-nya memenuhi jalan-jalan utama Jakarta. Tak heran, demam Avanza-Xenia pun terbangkitkan. Walaupun di iklan-iklannya dikumangdangkan fitur-fitur baru yang tak ada di Avanza-Xenia lama, saya yakin pembeli tak peduli itu semua. Kepedulian utama mereka cuma satu, yaitu memiliki All New Avanza-Xenia, titik.
“Want” adalah Panglima
Hari-hari ini dan beberapa hari ke depan, mal-mal di Jakarta akan penuh sesak di tengah malam oleh program yang kita tunggu-tunggu, midnite sale. Momennya pas, bonus tahunan mulai dibagikan, kantong sedikit tebal, harga-harga barang terpangkas 50-70% oleh sale. Klop, nafsu belanja pun tak tertahankan. Hasilnya, semua barang yang terbaru, yang tercanggih, yang termurah, dan yang “ter-ter” yang lain semuanya dibeli. Tanpa peduli itu dibutuhkan atau tidak.
Obyek penelitian paling valid dan insightful kalau menyangkut hal-ikhwal nafsu belanja adalah istri saya. Setiap kali saya diajak belanja di midnite sale oleh istri, yang paling menarik saya bukannya barang-barang hebat berharga murah, tapi polah-tingkah si istri yang seperti kesurupan memburu diskon. Saya yakin 100% ini bukanlah perilaku tipikal istri saya, tapi sebagian besar ibu-ibu di seantero tanah air (yes, sebut saja mereka: “housewives 3000”).
Melihat begitu banyak barang bagus berharga murah maka yang terlintas di benak housewives 3000 ini cuma satu: “aji mumpung, kapan lagi dapat diskon 70%, ayo serbuuuuu!!!” Di tengah euforia belanja macam ini, maka otak kita lebih dikuasai oleh want ketimbang need. Bahkan ketika nafsu belanja sudah sampai ke ubun-ubun, maka want pun menjadi panglima, dan need kita enyahkan jauh-jauh, kita taruh di urutan terbuncit. Karena itu saya melihat fenomena di Jakarta, kini rumah menjadi “gudang” tempat menimbun barang-barang yang dibeli ibu-ibu, tapi tidak dibutuhkan.
Inilah momen ketika want “menyandera” need kita. Momen ketika need kita tak berkutik, karena otak telah dikuasai oleh want yang begitu luar biasa pengaruhnya. Dalam kondisi begini isi kocek pun terkuras oleh pengaruh sihir want kita yang luar biasa.
“Want” Is Challenging
Saya memperkirakan fenomena decoupling ini akan semakin merajalela di tengah daya beli konsumen kita yang semakin terdongkrak naik. Ketika daya beli meningkat, dan urusan perut sudah terlewati, maka keinginan kita akan semakin aneh-aneh. Keinginan yang nggak penting-penting serta-merta menjadi penting. Keinginan yang dulunya prioritas buncit, tiba-tiba kini menjadi panglima.
Apapun yang terjadi, di tengah konsumen yang makin aneh-aneh ini pekerjaan marketers akan menjadi semakin rumit. Need itu simple,jelas, dan tangible. Kita butuh iPad misalnya, untuk mendapatkan manfaat dari aplikasi-aplikasi yang ada di dalamnya. Sedangkan want iturumit, bisa aneh-aneh, tak terprediksi, dan menariknya bisadiciptakan dan “dimanipulasi” oleh si marketer. Kita pengin iPad misalnya, untuk nampang, untuk terlihat cool, untuk terlihat tech-savvy, untuk terlihat sebagai Apple fans, dan 1001 alasan yang lain.
Satu hal yang harus diingat marketers: want itu seribu kali lebih rumitdibanding need. Itu buruknya. Bagusnya, want seribu kali lebihchallenging dibanding need.
0 komentar:
Post a Comment