Janganlah kamu merasa kecil diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu
bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan
manhajnya diserap dari sunnah Rasul-Nya dengan dakwah-dakwah lainnya
yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu bubar begitu saja dengan
berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah
Tsabat dalam jalan dakwah ini’. Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat
yang kita miliki?
(Imam Syahid Hasan Al- Bana)
|
Ustadz, dulu ana merasa semangat
dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering.
Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu
keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam,
mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang
ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi
setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar
dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak
islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering
mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri
saja..." jawab mad'u itu.
Sang murabbi termenung kembali.
Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat
tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
"Akhi, bila suatu kali antum
naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok.
Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau
kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada
tujuan?" tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
Sang mad'u terdiam berpikir. Tak
kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat
tepat.
"Apakah antum memilih untuk
terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" sang murabbi mencoba memberi
opsi.
"Bila antum terjun ke laut,
sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan
kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya
sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan
hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang,
bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan
di hadapan sang mad'u.
Tak ayal, sang mad'u menangis
tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya
kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi
jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Akhi, apakah antum masih merasa
bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?"
Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.
"Bagaimana bila temyata
mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan
berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba
memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam
sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat
tangannya, "Cukup ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap
istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar
setiap kata-kata ana diperhatikan..."
"Biarlah yang lain dengan
urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan
hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya.
Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana",
sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum.
"Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan
yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak
kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut
seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi
manusia terbaik pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan
dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana
Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan
mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama
ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau
bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap
ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini
dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat
yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah
kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah
da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi
masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru
semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti
menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa
menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang mad'u termenung merenungi
setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal
tetap bergelayut dihatinya.
"Tapi bagaimana ana bisa
memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah
pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
"Siapa bilang kapasitas
antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya
kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu
lebih baik dari yang lain!" sahut sang murabbi.
"Bekerjalah dengan ikhlas.
Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua
ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna
bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan
bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap
saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui
kemuliaannya."
Suasana dialog itu mulai mencair.
Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam
jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail
malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari
asyik tidurnya.
Malam itu, sang mad'u menyadari
kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam
mengarungi dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari
Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di
jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..
Wallahu a'lam.
sumber: Majalah Al-Izzah, No.
07/Th.4
0 komentar:
Post a Comment