ads

Anashiruda'wah


“Katakanlah (wahai Muhammad) ini jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada (agama) Allah dengan hujjah yang nyata. Maha suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Yusuf : 108)


Quran surat Yusuf (12):108 ditafsirkan oleh ulama dakwah melalui tafsir dakwahnya memberikan bimbingan kepada kita tentang anashirud-da’wah (unsur-unsur dakwah). Ayat ini menggambarkan bagaimana minhaj dakwah yang disebutkan oleh Allah SWT.

Qul  sebagai unsur pembuka, yang mengawali surat ini – yang memiliki arti ‘katakanlah’,  memberikan makna syar’iyyatud dakwah. Qul bermakna suatu perintah syara yang langsung berasal dari Allah dan RasulNya. Perintah atau arahan yang disebutkan setelahnya berarti sesuatu yang perlu dan penting. Dan dalam konteks ini adalah tentang bagaimana dakwah ini harus dijalani, yaitu dengan memenuhi unsur-unsurnya yang meliputi perihal pemimpin, pengikut, tujuan, minhaj, dan sikap.

Selanjutnya Allah menyebutkan unsur kedua: hadzihi sabili (inilah jalanku), memberikan makna risalatud-dakwah. ‘Inilah jalanku’, merupakan pesan dakwah, dakwah yang dilakukan Nabi adalah jalan yang perlu juga dilalui oleh setiap muslim. Dakwah itu sendiri merupakan pesan yang perlu kita tunaikan.

Ad’u (menyeru manusia) -sebagai unsur ketiga- menggambarkan bahwa perintah dakwah bersifat terus-menerus karena kata ini menggunakan fiil mudhari (present continous tenses), yaitu kata kerja yang berlaku hari ini, esok, dan masa depan. Maka dakwah dapat dikatakan sebagai harakatul mustamirah (gerakan yang -harus dilakukan-  terus-menerus), kapanpun dan dimanapun.

Ilallah (kepada Allah) memberi makna ghayatu shahihah (inilah tujuan yang benar), karena hanya kepada Allah saja tujuan dakwah ini, bukan kepada yang lain termasuk organisasi, perkumpulan, partai atau figur tertentu, tetapi kepada Islam. Jamaah ataupun syakhshiyah da’i adalah wasilah atau pintu untuk berdakwah tetapi nilai yang disampaikan adalah nilai Islam. Selain itu dakwah ilallah adalah dakwah yang mengajak mad’u dekat dengan Al Qur’an dan sunnah sehingga mereka mencintai dan membelanya.

‘Ala bashirah (keterangan atau bukti yang jelas) berarti juga dakwah harus berjalan berdasarkan minhajul wadhihah. Yaitu berdasarkan keterangan yang jelas dengan petunjuk yang benar dan panduan yang lengkap. Al Qur’an dan Sunnah merupakan bagian dari rujukan dan utama dalam dakwah. Pada keduanya Allah dan RasulNya menunujukkan cara berdakwah dengan hikmah, hasanah, dan marhamah, begitu pula harus memiliki anasir seperti jama’ah, pemimpin, dan pengikut, serta mengikuti marhalah, harus memiliki berbagai wasilah yang dapat diterima oleh mad’u dan sebagainya.

Ana (saya disini Nabi SAW) melambangkan pemimpin yang ikhlas (qiyadatul mukhlishah). Satu anasir penting di dalam dakwah yang tidak boleh dilupakan adalah adanya pemimpin. Pemimpin ini berarti orang yang membawa jamaah beserta pengikutnya. Ciri utama yang perlu dimillki oleh qiyadah adalah ikhlas. Dengan keikhlasan ini, qiyadah dapat membawa jamaah dengan baik walaupun banyak cobaan, tantangan, fitnah dari dalam maupun dari luar. Dengan ikhlas qiyadah dapat menerima kenyataan yang berlaku serta dapat menghadapi masalah dengan baik. Qiyadah yang tidak ikhlas akan membawa pengikutnya kepada kepentingan pribadi dan memperturutkan hawa nafsunya.

Wamanittaba’ani (orang yang mengikutinya) sebagai jundiyah muthi’ah (tentara yang patuh dan taat). Adanya qiyadah harus diikuti dengan adanya jundiyah (pengikut). Apabila qiyadah mukhlishah maka jundiyah harus muthi’ah. Pengikut yang tidak taat, maka akan menghentikan proses dakwah dan akan menghancurkan dakwah itu sendiri. Pengikut yang tidak taat tidak akan dapat diarahkan untuk mengerjakan program gerakan. Kehadiran, keterlibatan, dan partisipasi yang kurang ke dakwah adalah ciri dari tidak taatnya jundi kepada qiyadah. Program yang baik, sasaran yang menarik, dan wasilah yang canggih tidak akan tercapai apabila pengikut tidak taat. Keberadaan pengikut di dalam dakwah sangatlah diperlukan bagi perkembangan dakwah itu sendiri, tetapi yang lebih penting lagi adalah pengikut yang setia.

Subhaanallaah, menunjukkan tajarrud. ‘Maha suci Allah’ adalah sikap tajarrud pengikut ataupun pemimpin dakwah. Pelaku dakwah harus senantiasa mensucikan Allah dengan perbuatan, pemikiran dan akhlaknya. Dengan membebaskan diri dari kejahiliyahan, kekotoran, kemusyrikan, dan kebatilan akan membawa kita kepada kejayaan dakwah. Maka dengannya, Allah akan mendukung dan membela kita.

Wama ana minal musyrikin adalah tauhid, yang berarti menghindarkan diri dari kemusyrikan. Inilah sikap berikutnya dari pelaku dakwah yaitu tidaklah dirinya menjadi orang yang musyrik. Pelaku dakwah harus meluruskan tauhidnya. Meninggalkan segala bentuk pengabdian selain kepada Allah dan juga menghindari segala tingkah laku bukan Islam. Dengan tauhid yang  selalu mewarnai pemikiran, akhlak, dan ruhani dengan Islam.

           
Dengan demikian, dakwah haruslah sesuatu yang mengikuti syariat di dalam menyampaikan dakwahnya. Dakwah harus bersifat sesuatu program yang terus-menerus tidak pernah cuti dan berhenti. Dengan tujuan yang benar dan berdasarkan minhaj yang jelas. Dakwah harus dibawa oleh pengikut yang taat dengan ciri-ciri tajarrud dan mentauhidkan Allah.
Share on Google Plus

About MuRaNu

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar: