Fiqih atau fiqh (bahasa
Arab:ﻓﻘﻪ) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat
Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan
manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fiqih seperti Imam Abu Hanifah
mendefinisikan fiqih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan
haknya sebagai hamba Allah.
Fiqih
membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun
Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari
Syiah, dan Khawarij yang mempelajari tentang fiqih. Seseorang yang sudah
menguasai ilmu fiqih disebut Faqih.
Secara Etimologi
Dalam bahasa Arab,
secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fiqih secara terminologi yaitu
fiqih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukumIslam yang diperoleh melalui
dalil di Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu fiqih merupakan ilmu yang juga
membahas hukum syar’iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari,
baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.
Sejarah
Fiqih
Masa Nabi Muhammad saw
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah,
karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini,
permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum
Islam saat itu adalah al-Qur’an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah
lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali
disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan
keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk
melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini
diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang
diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat
Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan , walaupun
pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Masa
Khulafaur Rasyidin
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa
berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fiqih pada
periode ini didasari pada Al-Qur’an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi
Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak
diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur’an maupun Hadis. Permasalahan yang
muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke
dalam agama Islam.
Pada
periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang
terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para
faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur’an. Jika di Al-Qur’an tidak
diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak
ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih
dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang
hukum.
Masa
Awal Pertumbuhan Fiqih
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu’awiyah bin Abi Sufyan
sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan
masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para faqih. Tapi,
proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali
terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang
direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan
yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij. Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu
fiqih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari
setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya
hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.
Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas’ud mulai menggunakan
nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas’ud kala itu berada di daerah Iraq yang
kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar
bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat
dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai
oleh para faqih termasuk Ibnu Mas’ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana
mereka berada.
Patokan-patokan dalam Fiqh
Dalam mempelajari fiqh, Islam telah
meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu
:
Melarang membahas peristiwa yang belum
terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara,
karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu
menayakan itu ketika turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan.
Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi
penyayang." (Q. S. Al-Maidah: 101)
Dan dalam sebuah hadits ada tersebut
bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni
masalah-masalah yang belum lagi terjadi.
Menjauhi banyak tanya dan
masalah-masalah pelik.
Dalam sebuah hadits di katakan:
"Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya, dan
menyia-nyiakan harta."
"Sesungguhnya Allah telah
mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah
menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa
larangan maka jangan dlannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena
lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"
"Orang yang paling besar dosanya
ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian
diharamkan dengan sebab pertanyaan itu."
Menghindarkan pertikaian dan
perpecahan didalam agama.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala:
"Hendaklah kamu sekalian
berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !" (Q. S. Ali
Imran: 103).
Dan firmanNya : "Janganlah kamu
berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan, nanti kamu gagal dan hilang
pengaruh!" (Q. S. Al-Anfal 46). Dan firmanNya lagi : "Dan janganlah
kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi
setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan
siksa yang dahsyat." (Q. S. Ali Imran 105)
Mengembalikan masalah-masalah yang
dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.
Berdasarkan firman Allah SWT:
"Maka jika kamu berselisih
tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul." (Q. S.
An-Nisa 9).
Dan firman-Nya: "Dan apa-apa yang
kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah." (Q. S.
Asy- Syuro: 10).
Hal demikian itu, karena soal-soal
keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan kami turunkan Kitab Suci
Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS. An-Nahl 89).
Begitu juga dalam surah: Al-An'am 38,
An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur'an
terhadap berbagai masalah kehidupan.
Sehingga dengan demikian sempurnalah
ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah
SWT berfirman :
"Pada hari ini telah Ku
sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan ni'mat karunia-Ku dan telah Ku
Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q. S. Al Maidah: 5).
Dan firman Allah SWT:
"Tidak ! Demi Tuhan ! mereka
belum lagi beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka
perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima putusanmu,
hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu." (Q. S. An-Nisa: 66)
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN FIQH
PERTIMBANGAN (oleh Dr. Yusuf Al Qardhawy)
FIQH prioritas memiliki
hubungan yang sangat
erat dengan bentuk fiqh
lainnya, dalam beberapa hal, seperti yang pernah kami tulis sebelumnya.
Ia berkaitan dengan fiqh pertimbangan
(muwazanah), yang pernah
saya
bahas dalam buku saya Prioritas
Gerakan Islam. Di dalam
buku itu saya mengutip beberapa
pokok pikiran Syaikh
Islam,
Ibn Taimiyah, yang saya pandang sangat
berguna.
Peran
terpenting yang dapat dilakukan
oleh fiqh pertimbangan
ini ialah:
1) Memberikan pertimbangan antara
berbagai kemaslahatan dan
manfaat dari berbagai kebaikan yang disyariatkan.
2) Memberikan pertimbangan antara
berbagai bentuk kerusakan,
madharat, dan kejahatan yang
dilarang oleh agama.
3) Memberikan pertimbangan antara
maslahat dan kerusakan,
antara kebaikan dan kejelekan apabila dua hal yang
bertentangan ini bertemu satu sama lain.
PERTIMBANGAN ANTARA BERBAGAI
KEMASLAHATAN SATU DENGAN LAINNYA
Pada kategori pertama (kemaslahatan), kita
dapat menemukan
kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syari'ah agama,
bahwa
kemaslahatan tidak berada
pada satu peringkat.
Tetapi ia
bertingkat-tingkat, sebagaimana
peringkat utama yang telah
ditetapkan oleh
para ahli usul
fiqh. Mereka membagi
kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan dengan urutan
sebagai
berikut: dharuriyyat, hajjiyyat,
dan tahsinat. Yang
dimaksudkan dengan
dharuriyyat ialah sesuatu yang kita tidak
bisa hidup kecuali dengannya; dan hajjiyyat
ialah kehidupan
memungkinkan tanpa
dia, tetapi kehidupan
itu mengalami
kesulitan dan kesusahan;
dan tahsinat ialah
sesuatu yang
diper-gunakan untuk
menghias dan mempercantik kehidupan, dan
seringkali kita sebut dengan
kamaliyyat (pelengkap).
Fiqh
pertimbangan --dan pada
gilirannya, fiqh
prioritas--mengharuskan kita:
* Mendahulukan dharuriyyat atas hajjiyyat,
apalagi terhadap
tahsinaf;
* Dan mendahulukan hajjiyyat atas tahsinat dan
kamaliyyat.
Pada sisi yang lain, dharuriyyat
sendiri terbagi-bagi lagi
menjadi beberapa
bagian. Para ulama
menyebutkan bahwa
dharuriyyat itu ada lima macam: agama,
jiwa, keturunan, akal,
dan
harta kekayaan. Sebagian
ulama menambahkan dharuriyyat
yang keenam, yaitu kehormatan.
Agama
merupakan bagian pertama
dan terpenting daripada
dharuriyyat. Ia
harus didahulukan atas
berbagai macam
dharuriyyat yang lain, sampai
kepada jiwa manusia.
Begitu
pula,
jiwa harus diutamakan
atas dharuriyyat yang lain di
bawahnya.
Dalam memberikan pertimbangan terhadap
berbagai kepentingan
tersebut, kita dapat mempergunakan
kaidah berikut ini:
Mendahulukan kepentingan yang
sudah pasti atas
kepentingan yang baru diduga adanya, atau masih
diragukan.
Mendahulukan kepentingan yang besar atas kepentingan yang
kecil.
Mendahulukan kepentingan sosial atas kepentingan
individual.
Mendahulukan kepentingan yang banyak atas kepentingan
yang sedikit.
Mendahulukan kepentingan yang berkesinambungan atas
kepentingan yang sementara dan insidental.
Mendahulukan kepentingan inti dan fundamental atas
kepetingan yang bersifat formalitas dan tidak penting.
Mendahulukan kepentingan masa depan yang kuat atas
kepentingan kekinian yang lemah.
Pada Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah,
kita dapat melihat Nabi
saw
yang mulia memenangkan kepentingan
inti dan fundamental,
serta kepentingan masa depan atas kepentingan
yang bersifat
formalitas dan tidak penting, yang seringkali menipu
manusia.
Rasulullah saw menerima syarat-syarat
yang pada awalnya diduga
bahwa
penerimaan itu tidak
adil bagi kaum Muslim, sehingga
mereka harus menerima bagian yang
kurang ... Pada
saat itu
baginda Nabi
saw yang mulia menerima
permintaan orang kafir
untuk
menghapuskan
"basmalah" yang tertulis
pada lembar
perjanjian, dan
sebagai gantinya ditulislah
"bismika
allahumma." Selain
itu, beliau juga
merelakan untuk
menghapuskan sifat
kerasulan yang tertulis setelah nama Nabi
saw yang mulia "Muhammad
Rasulullah" dan cukup hanya
dengan
menuliskan nama beliau saja
"Muhammad bin Abdullah". Semua itu
dilakukan oleh Rasulullah saw untuk
mendapatkan ketenangan dan
perdamaian di
balik itu, sehingga
memungkinkannya untuk
menyiarkan da'wah Islam, dan mengajak
raja-raja di dunia ini
untuk
memeluk Islam. Tidak
diragukan lagi bahwa tindakan
Rasulullah saw itu disebut di dalam
al-Qur'an al-Karim dengan
istilah kemenangan
yang nyata (fath
mubin). Contoh-contoh
serupa itu banyak kita temukan pada
kehidupan beliau.
PERTIMBANGAN ANTARA KERUSAKAN DAN
MADHARAT YANG SATU DENGAN
LAINNYA
Pada
bagian kedua --kerusakan
dan Madharat-- kita
dapat
menemukan bahwa kerusakan dan madharat
itu memiliki tingkatan,
sebagaimana tingkat yang terdapat pada
kemaslahatan.
Kerusakan yang dapat merusak perkara
yang termasuk dharuriyyat
adalah
berbeda dengan kerusakan yang dapat merusak hajjiyyat,
atau tahsinat.
Kerusakan yang dapat
membahayakan harta benda
tidak sama
tingkatannya dengan
kerusakan yang dapat membunuh
jiwa; dan
juga tidak sama dengan kerusakan yang
dapat membahayakan agama
dan aqidah.
Volume, intensitas, dan bahaya yang
ditimbulkan oleh kerusakan
dan madharat itu berbeda-beda
tingkatannya. Atas dasar inilah,
para
fuqaha menetapkan sejumlah
kaidah yang baku mengenai
hukum yang penting; antara lain.
"Tidak ada bahaya dan tidak boleh membahayakan."
"Suatu bahaya sedapat mungkin harus disingkirkan."
"Suatu bahaya tidak boleh disingkirkan dengan bahaya yang
sepadan atau yang lebih besar."
"Bahaya yang lebih ringan, dibandingkan dengan bahaya
lainnya yang mesti dipilih, boleh dilakukan"
"Bahaya yang lebih ringan boleh dilakukan untuk menolak
bahaya yang lebih besar."
"Bahaya yang bersifat khusus boleh dilakukan untuk
menolak bahaya yang sifatnya lebih luas dan umum."
PERTIMBANGAN ANTARA MASLAHAT DAN
KERUSAKAN APABILA KEDUA HAL
YANG BERTENTANGAN INI BERTEMU
Apabila dalam
suatu perkara terdapat
maslahat dan
kerusakannya, ada
bahaya dan manfaatnya, maka keduanya harus
dipertimbangkan dengan betul. Kita
harus mengambil keputusan
terhadap pertimbangan
yang lebih berat
dan lebih banyak,
karena sesungguhnya yang lebih banyak
itu mengandung hukum
yang menyeluruh.
Kalau
misalnya kerusakannya dirasakan
lebih banyak dan lebih
berat dalam suatu perkara dibandingkan
dengan manfaat yang
terkandung di
dalamnya, maka perkara
seperti ini mesti
dicegah, karena
kerusakan lebih banyak,
kita terpaksa
mengabaikan sedikit
manfaat yang terkandung
di dalamnya.
Keputusan ini
didasarkan kepada apa
yang dikatakan oleh
al-Qur'an al-Karim sehubungan dengan hukum khamar dan
berjudi
ketika
dia memberikan jawaban
terhadap orang-orang yang
bertanya mengenai kedua hal itu:
"Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi.
Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar danpada manfaatnya ..." (al-Baqarah: 219)
Sebaliknya, apabila dalam suatu
perkara terdapat manfaat yang
lebih
besar, maka perkara
itu boleh dilakukan, sedangkan
kerusakan kecil yang ada padanya
dapat diabaikan. Di
antara
kaidah penting dalam hal ini ialah:
"Menolak kerusakan harus didahulukan atas pengambilan
manfaat."
Kaidah ini kemudian disempurnakan
dengan kaidah lain
yang
dianggap penting:
"Kerusakan yang kecil diampuni untuk memperoleh,
kemaslahatan yang lebih besar."
"Kerusakan yang bersifat sementara diampuni demi
kemaslahatan yang sifatnya berkesinambungan."
"Kemaslahatan yang sudah pasti tidak boleh ditinggalkan
karena ada kerusakan yang baru diduga adanya."
Sesungguhnya fiqh pertimbangan seperti
itu memiliki arti yang
sangat
penting dalam kehidupan nyata manusia, khususnya dalam
masalah Siyasah
Syari'ah (politik syari'ah),
karena ia
merupakan landasan
bagi pembinaan umat, yang pada gilirannya
dapat dipandang sebagai fiqh
prioritas.
BAGAIMANA MENGETAHUI KEMASLAHATAN DAN
KERUSAKAN?
Kemaslahatan yang mesti dipelihara
ialah kepentingan dunia dan
kepentingan akhirat;
atau kepentingan dunia
sekaligus
kepentingan akhirat
secara bersamaan. Begitu
pula halnya
dengan kerusakan
yang sudah tidak
diragukan lagi
keberadaannya.
Masing-masing kemaslahatan dan
kerusakan ini dapat diketahui
melalui akal
pikiran, atau melalui
ketetapan agama, atau
melalui keduanya sekaligus.
PENDAPAT IBN ABD AL-SALAM
Imam Izzuddin bin Abd al-Salam merinci
cara untuk mengetahui
bemaslahan dan kerusakan, berikut
peringkat-peringkatnya.
Dengan jelas beliau menulis dalam bukunya,
Qawa'id al-Ahkam
Mashalih al-Imam:
"Kebanyakan kemaslahatan dunia dan kerusakannya dapat
diketahui dengan akal, sekaligus menjadi bagian terbesar
dari syari'ah; karena telah diketahui bahwa sebelum
ajaran agama diturunkan, orang yang berakal telah
mengetahui bahwa usaha untuk mencapai suatu kebaikan dan
menghindarkan terjadinya suatu kerusakan dari diri
manusia, menurut pandangannya merupakan sesuatu yang
terpuji dan baik. Mendahulukan kemaslahatan yang dianggap
paling penting juga dinilai sesuatu yang terpuji dan
baik. Dan penolakan terhadap kerusakan dianggap paling
membahayakan juga dianggap sesuatu yang terpuji dan baik.
Mendahulukan suatu kemaslahatan yang diterima (rajih)
atas kemaslahatan yang tidak diterima (marjuh) juga
merupakan sesuatu terpuji dan baik. Dan penolakan
terhadap kerusakan yang dianggap pasti atas penolakan
yang belum dianggap pasti juga merupakan sesuatu yang
baik."
Orang-orang yang bijak pun sepakat
dengan pendapat di
atas.
Begitu
pula, berbagai ajaran
syari'ah mengharamkan darah,
harta kekayaan, dan kehormatan; dan
menganjurkan kepada kita
untuk
melakukan sesuatu yang terbaik, baik berupa perkataan
maupun perbuatan.
Apabila terdapat perselisihan pendapat
pada sebagian persoalan
tersebut, maka sebetulnya perselisihan tersebut muncul
ketika
ada kesamaan pertimbangan antara
maslahat dan madharat. Pada
saat inilah orang-orang merasa bimbang
mengambil keputusan.
Begitu
pula para dokter yang sedang menghadapi komplikasi dua
macam penyakit pada pasiennya,
mereka akan mengambil
risiko
yang paling
ringan, dan mengambil keselamatan
dan kesehatan
yang paling tinggi, dan tidak
mengindahkan risiko yang ringan
itu.
Akan tetapi mereka
akan bimbang manakala menghadapi
risiko dan keselamatan yang sama. Dunia
kedokteran bagaikan
syari'ah. Ia dibuat untuk mengambil
keselamatan dan kesehatan,
menolak kerusakan dan penyakit.
Ia diadakan untuk
menolak
segala
kemungkinan buruk yang mungkin timbul, dan mengambil
kebaikan yang mungkin dilakukan. Dan
jika penolakan terhadap
keburukan itu
tidak dapat dilakukan,
pengambilan terhadap
kebaikan juga
tidak dapat dilakukan,
sehingga tingkat
keburukan dan kebaikan berada pada satu titik yang
sama, maka
ia harus mengambil keputusan. Jika ada
perbedaannya, maka ia
harus
memilih pertimbangan yang lebih berat. Dan jika tidak
ada perbedaannya, maka
ia tidak dapat
melakukan tindakan
apa-apa. Yang menetapkan aturan syari'ah ini adalah
juga yang
menetapkan aturan
dalam dunia kedokteran.
Dua dunia ini
sama-sama diletakkan
untuk mengambil kemaslahatan
bagi
hamba-hamba-Nya dan menyingkirkan
kerusakan dari mereka.
Kalau dalam dunia keagamaan, kita
tidak boleh melangkah maju
dalam
mengambil kemaslahatan ketika dua
tangan timbangan itu
seimbang; maka di dalam dunia
kedokteran keputusan pengambilan
kemaslahatan juga
tidak boleh melangkah maju
sebelum muncul
tanda yang memberatkan salah satu
tangan timbangan. Begitulah
seharusnya kita
mengambil keputusan pada persoalan yang baik
dan yang lebih baik; pada persoalan
yang rusak dan yang paling
rusak.
Demikianlah semestinya kaidah yang harus diberlakukan;
karena hanya orang-orang
bodoh saja yang
menyimpang dari
aturan
yang berlaku seperti
itu. Kita diharamkan memakan
binatang sembelihan dari orang-orang
kafir. Namun ada sebagian
orang
yang menyangka bahwa
kemaslahatan itu terdapat pada
binatang yang disembelih, sehingga
pandangan seperti ini tidak
benar. Sebenarnya, dia mendahulukan
kemaslahatan pada binatang
yang
rendah nilainya atas
binatang yang, lebih
tinggi
nilainya. Kalau
orang ini mau melepaskan diri dari kebodohan
dan hawa nafsunya, maka mereka
akan mendahulukan yang
lebih
baik
atas yang rendah
nilainya. Mereka akan membuang
yang
lebih jelek dan mengambil yang ielek:
"... Maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah
disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang
penolongpun." (ar-Rum: 29)
Siapa yang mendapatkan bimbingan dari
Allah dan dipelihara
oleh-Nya, sehingga dia dapat melihat
hal itu dengan jelas, dan
melakukan amalannya sesuai dengan
pandangannya itu, maka dia
akan
mendapatkan keberuntungan. Akan
tetapi, jumlah orang
seperti ini tidak banyak. Salah
seorang penyair mengatakan:
"Kami menghitung jumlah mereka sangat sedikit. Tetapi
ternyata jumlah mereka lebih sedikit daripada yang
sedikit itu."
Demikian pula orang-orang yang
melakukan ijtihad dalam hukum
agama.
Ada orang yang
diberi bimbingan oleh Allah SWT
dan
dipelihara dari kesalahan, karena
dia mendapatkan petunjuk
yang jelas dari-Nya, sehingga dapat
melakukan yang benar. Oleh
karena itu, dia mendapatkan pahala
atas niatnya dan kebenaran
yang
dilakukannya. Sebaliknya, ada
orang yang melakukan
kesalahan dalam
melakukan ijtihad itu,
maka dia hanya
mendapatkan pahala
atas niat dan ijtihad yang
dilakukannya;
sedangkan kesalahannya dimaafkan. Dan
yang lebih besar
dari
kesalahan itu ialah hal-hal yang
berkaitan dengan usul fiqh.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya kemampuan untuk memilih
sesuatu
yang lebih besar kemaslahatannya, dan
menolak sesuatu yang
lebih besar kejelekannya sudah
diberikan oleh Allah dalam diri
manusia, sebagaimana yang telah kami
sebutkan di dalam kitab
ini.
Kalau Anda memberikan pilihan
kepada seorang anak kecil
antara dua makanan yang lezat dan
lebih lezat, maka dia akan
memilih yang
lebih lezat. Kalau
dia diberi pilihan untuk
memilih yang baik dan yang lebih baik,
maka dia akan memilih
yang
lebih baik. Kalau dia diberi
pilihan untuk memilih uang
kertas dan uang dirham, maka dia akan
memilih uang dirham.
Kalau
dia disuruh memilih antara uang
dirham dan dinar, maka
dia akan memilih dinar. Tidak akan ada
orang yang mendahulukan
yang
baik atas yang lebih baik kecuali
orang yang tidak tahu
kelebihan yang lebih baik itu,
atau orang yang
berpura-pura
tidak melihat perbedaan antara dua
tingkatan tersebut.1
Adapun
kemaslahatan dan kemudharatan
masalah akhirat hanya
dapat diketahui melalui dalil-dalil
naqli.
Kemaslahatan dan kerusakan
dunia dan akhirat
berada pada
tingkat yang berbeda. Ada yang berada di atasnya dan
ada pula
yang di bawahnya. Namun
ada pula yang
sama tingkatannya.
Kemaslahatan dan
kerusakan ini terbagi lagi
menjadi hal-hal
yang disepakati dan hal-hal yang tidak
disepakati.
Setiap persoalan yang
diperintahkan kepada kita
untuk kita
lakukan merupakan persoalan yang mengandung
kemaslahatan bagi
dunia dan akhirat, atau salah satu di
antara kedua hal
itu.
Dan setiap yang dilarang pasti
mengandung kerusakan bagi dunia
dan
akhirat, atau kerusakan
pada salah satu
di antara
keduanya. Perbuatan yang menghasilkan
kemaslahatan yang paling
baik merupakan amalan yang paling
mulia, sedangkan perbuatan
yang menghasilkan kerusakan yang
paling buruk merupakan amalan
yang paling hina.
Tidak ada kebahagiaan
yang lebih baik
daripada makrifat, iman, dan taat kepada Allah SWT;
dan tidak
ada kesengsaraan yang lebih buruk
daripada kebodohan terhadap
ajaran agama, kekufuran, kefasikan,
dan kemaksiatan.
Pahala
yang diterima di
akhirat kelak juga berbeda menurut
tingkatan kemaslahatannya. Dan siksa
yang akan diberikan
di
akhirat juga
akan dilihat menurut
tingkat kerusakan yang
dilakukan. Sebagian besar tujuan
ajaran yang terdapat di dalam
al-Qur'an al-Karim ialah menyuruh kita mengambil
kemaslahatan
dengan segala hal yang berkaitan
dengannya, dan mencegah kita
untuk
melakukan kerusakan dan
hal-hal yang berkaitan
dengannya. Tidak ada penisbatan
kemaslahatan dan kerusakan di
dunia
terhadap kemaslahatan dan
kerusakan di akhirat. Karena
sesungguhnya kemaslahatan di akhirat
kelak pahalanya ialah
surga
yang abadi dan
keridhaan Allah, dengan
memandang
keharibaan-Nya. Betapa nikmatnya
kenikmatan yang abadi
ini.
Sedangkan kerusakan
di akhirat balasannya ialah
neraka yang
abadi
dan kemurkaan Allah,
dengan tidak berkesempatan
memandang keharibaan-Nya. Betapa sengsaranya siksa yang
pedih
dan abadi ini.
Kemaslahatan itu ada tiga
macam: kemaslahatan yang
mubah,
kemaslahatan yang sunat, dan
kemaslahatan yang wajib.
Sedangkan kerusakan itu ada dua macam: kerusakan yang
makruh,
dan kerusakan yang haram.
CARA MENGETAHUI KEBAIKAN DAN KERUSAKAN
DI DUNIA DAN DI AKHIRAT
--------------------------------------------------------------
KEBAIKAN dan kerusakan di dunia
dan di
akhirat hanya dapat
diketahui melalui syari'ah agama. Jika ada hal-hal yang
masih
belum diketahui, maka harus dicari
dari dalil-dalil agama;
yaitu
dari al-Qur'an al-Karim, Sunnah
Rasulullah saw, ijma',
qiyas yang benar dengan cara pengambilan
dalil yang sahih.
Sedangkan kemaslahatan
dunia dan hal-hal
yang berkaitan
dengannya dapat
diketahui dengan kepentingan,
pengalaman,
kebiasaan, dan dugaan yang benar. Jika ada sesuatu yang
masih
belum diketahui maka harus dicari
dalilnya. Oleh karena itu,
orang
ingin mengetahui kesesuaian,
kemaslahatan, dan
kerusakannya, maka dia harus membandingkan
antara keduanya,
mana
yang diterima dan
mana yang tidak diterima,
kemudian
mengajukannya kepada akal pikirannya
jika syari'ah agama belum
mengeluarkan ketetapan
atas persoalan itu; dan selepas itu
dibangunlah hukum-hukum atasnya.
Hampir tidak ada hukum yang
keluar dari aturan seperti ini,
kecuali hal-hal yang berkaitan
dengan peribadatan terhadap Allah yang
dilakukan oleh para
hambaNya. Dengan
cara seperti itulah,
kebaikan amalan dan
keburukannya dapat diketahui. Padahal
sesungguhnya tidak wajib
bagi
Allah untuk mengambil
kemaslahatan yang baik, menolak
masalah yang buruk, sebagaimana tidak
wajib bagi-Nya untuk
mencipta, memberi
rizki, memberi beban
kewajiban, memberi
pahala
dan memberi siksa.
Pengambilan kemaslahatan dan
penolakan atas
hal-hal yang buruk
merupakan sejenis
kekuasaan-Nya atas para hamba-Nya.
TUJUAN PENULISAN BUKU QAWA'ID AL-AHKAM
Imam Ibn Abd al-Salam memberikan
penjelasan berkenaan dengan
tujuan
penulisan bukunya, "Tujuan
penulisan buku ini ialah
untuk
memberikan penjelasan tentang
pelbagai kebaikan
melakukan ketaatan,
mu'amalah, dan tindak laku yang
lainnya
agar
supaya hamba-hamba Allah
SWT berupaya mencapainya;
memberikan penjelasan
mengenai buruknya penentangan terhadap
ajaran Allah, agar mereka
menghindari tindakan seperti
itu;
memberikan penjelasan
mengenai baiknya berbagai ibadah
agar
mereka
melakukannya; penjelasan mengenai
didahulukannya
sebagian kemaslahatan
atas sebagian yang
lain, dan
diakhirkannya sebagian kerusakan atas
kerusakan yang lain;
serta
penjelasan mengenai perbuatan
yang dilakukan oleh
manusia yang dia tidak mempunyai
kekuasaan untuk melakukannya.
Syari'ah agama
ini secara keseluruhan
mengandung berbagai
macam kemaslahatan; baik berupa
penolakan terhadap kerusakan
atau
pengambilan kemaslahatan. Jika
Anda mendengarkan firman
Allah: "Wahai orang-orang yang
beriman," maka perhatikan pesan
yang
datang setelah panggilan
ini, pasti Anda tidak akan
menemukan kecuali
kebaikan yang dianjurkan
olehnya, atau
keburukan yang
Anda dilarang melakukannya, atau kedua-duanya
sekali. Allah
telah menjelaskan dalam
Kitab-Nya mengenai
sebagian hukum
berkenaan dengan kerusakan
yang sekaligus
menganjurkan kepada kita untuk
menjauhinya, serta hukum-hukum
yang berkaitan dengan kemaslahatan
yang sekaligus menganjurkan
kepada kita untuk melakukannya."2
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN
FIQH TUJUAN SYARI'AH
Fiqh
Prioritas juga berkaitan
erat dengan Fiqh
Tujuan
Syari'ah. Semua
orang sepakat bahwa
hukum-hukum syari'ah
secara menyeluruh memiliki alasan,
dan juga
terdapat tujuan
tertentu yang ada di balik bentuk
lahiriah hukum syari'ah yang
harus
dilaksanakan itu; karena
sesungguhnya di antara
nama-nama Allah ialah al-Hakim (Maha
Bijaksana) , yang disebut
di dalam al-Qur'an al-Karim lebih
dari sembilan puluh
kali.
Allah
yang Maha Bijaksana tidak akan membuat syari'ah agama
tanpa tujuan, sebagaimana Dia tidak
akan menciptakan sesuatu
dengan sia-sia.
Bahkan, bentuk
ibadah mahdhah (ibadah
yang murni) juga
mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yang
kadang-kadang alasan
ibadah itu disebutkan oleh al-Qur'an:
Shalat
misalnya, adalah untuk
mencegah perbuatan keji dan
mungkar (al-'Ankabut:
45); zakat untuk
membersihkan dan
menyucikan diri
manusia (at-Taubah:103); puasa
untuk
menjadikan manusia bertaqwa
(al-Baqarah, 183); dan ibadah haji
untuk
menyaksikan berbagai manfaat, dan menyebut nama Allah
(al-Hajj, 28).
Di antara pemahaman terbaik kita
terhadap ajaran agama Allah
ialah
bila kita mengetahui tujuan pemberian beban kewajiban
yang mesti kita lakukan, sehingga kita
dapat mewujudkan tujuan
tersebut, dan
tidak memaksa diri
kita dan juga orang lain
untuk melakukan sesuatu yang tidak
berkaitan dengan tujuan
syari'ah.
Dari
uraian ini saya tidak melihat alasan yang jelas mengenai
pemaksaan pentingnya mengeluarkan
zakat fitrah dalam
bentuk
makanan sebagaimana
yang kita saksikan di setiap tempat pada
zaman kita sekarang ini, di kota
maupun di desa. Pengeluaran
zakat fitrah
dalam bentuk makanan
bukanlah tujuan
satu-satunya, tetapi tujuan sebenarnya
ialah mencukupi orang
fakir miskin pada hari yang sangat
mulia ini agar mereka tidak
meminta-minta dan
berkeliling menengadahkan tangan
kepada
orang lain.
Saya
juga tidak melihat
alasan yang jelas makna pemaksaan
pelemparan jumrah dalam ibadah
haji sebelum tergelincirnya
matahari, walaupun pada saat itu para
jamaah sangat ramai, dan
ratusan orang mati terinjak kaki,
seperti yang terjadi
pada
musim
haji tahun yang
lalu. Di dalam syari'ah agama
tidak
ditunjukkan bahwa perkara ini
merupakan tujuan yang
mesti
dicapai, tetapi tujuannya ialah mengingat Allah SWT,
dan yang
diminta ialah yang mempermudah
cara pelaksanaan ibadah
haji
itu, sehingga tidak menyakitkan.
Yang
terpenting di sini ialah,
membedakan antara tujuan yang
tetap dan cara pelaksanaan yang
berubah-ubah. Untuk hal yang
pertama kita
umpamakan seperti besi yang sangat keras, dan
untuk hal yang
kedua kita umpamakan
seperti sutera yang
lembut. Persoalan
ini telah kami jelaskan dalam buku kami,
Kayfa Nata'amal ma'a as-Sunnah
an-Nabawiyyah.3
HUBUNGAN ANTARA FIQH PRIORITAS DAN
FIQH NASH
Tidak diragukan lagi bahwa fiqh prioritas
memiliki hubungan
yang
erat dengan fiqh nash syari'ah yang bersifat parsial. Di
mana nash yang parsial ini
berkaitan dengan tujuan
secara
umum,
kaidah-kaidah umum, sehingga
yang parsial ini dapat
dikembalikan kepada yang umum, dan
sebaliknya, masalah-masalah
cabang dapat dikembalikan kepada yang
pokok.
Yang
paling penting di sini ialah membedakan antara nash yang
bersifat qath'i dan nash yang bersifat
zhanni, antara nash
yang
muhkam dan nash yang mutasyabih.
Nash yang zhanni mesti
dipahami berdasarkan yang qath'i, dan
nash yang mutasyabih
mesti dipahami dalam kerangka nash
yang muhkam.
Fiqh
seperti ini sangat penting sekali
untuk memahami Sunnah
Nabi,
karena seringkali terjadi
pencampuradukan pemahaman
antara Sunnah Nabi dan al-Qur'an;
karena kedudukan Sunnah Nabi
sebagai penjelas dan pemerinci al-Qur'an
al-Karim, sehingga
dia
banyak masuk kepada hal-hal yang parsial dan pada tahap
pelaksanaannya. Selain ibu, di dalam
Sunnah Nabi juga terdapat
penetapan syari'ah
(tasyri'), yang melupakan masalah
pokok;
dan juga ada perkara yang sifatnya
bukan penetapan syari'ah,
misalnya hadits yang berkaitan dengan pengawinan pohon
kurma.
Disamping itu, dalam Sunnah Nabi juga
ada penetapan syari'ah
yang
bersifat langgeng (kontinyu) dan
ada pula yang sifatnya
insidental; ada penetapan syari'ah
yang bersifat umum, dan ada
pula
yang bersifat khusus. Di mana untuk berbagai persoalan
tersebut telah banyak dirinci oleh
para ulama yang lain.
Saya
sendiri telah menjelaskan
masalah tersebut ketika
berbicara tentang
Salah Satu Sisi Penetapan Syari'ah dalam
Sunnah, yang dimuat dalam
majalah Markaz Buhuts
as-Sunnah
was-Sirah; dan
juga dalam buku
saya sendiri as-Sunnah...,
Mashdar li al-Ma'rifah
wa al-Hadharah.4 Bagi
peminat dua
masalah ini
dapat merujuk kepada
dua buah sumber tersebut
untuk kajian yang lebih mendalam.
Catatan Kaki:
1 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, 1:5-7.
2 Qawa'id al-Ahkam fi Mashalih
al-Anam, 1:5-11.
3 Baca bagian yang membicarakan
"Perbedaan antara Cara yang
Berubah-ubah dan Tujuan sunnah yang tetap."
4 Diterbitkan oleh Markaz Buhuts
as-Sunnah wa al-Sirah al-Nabawiyyah,
Universitas Qatar.
0 komentar:
Post a Comment